Konsep wali dlm islam
Pendahuluan
Di dalam kajian tentang Islam, kata-kata wali telah digunakan secara luas, baik di kalangan para teolog maupun ilmuwan sosial. Orang yang menyandang gelar wali mendapatkan kedudukan yang penting dalam sistem kemasyarakatan Islam, baik karena kualitas spiritual mereka maupun karena peran sosial yang mereka mainkan. Namun demikian, wali tetap menjadi bahan studi yang menarik, karena para ahli Islam menggunakan pendekatan yang berbeda, yang kemudian menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Dalam konteks ini, tampaknya perlu disadari adanya dua pendekatan yang berbeda.
Pertama ialah pendekatan antropologis, yang melihat wali sebagai realitas sosial, yang bisa diamati dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, di Jawa dikenal Wali Sanga, yakni mereka yang telah memiliki jasa besar dalam islamisasi Jawa. Demikian juga dalam masyarakat tradisional kontemporer, beberapa orang telah dikenal sebagai wali karena sifat-sifat dan perilaku yang tampak dalam kehidupan mereka. Dalam kajian antropologis khususnya, mereka disebut wali karena masyarakat telah menyebut mereka "wali." Mereka identik dengan orang suci (the sacred men).
Kecuali pendekatan antropologis itu, ada pendekatan teologis yang menggunakan beberapa indikator seperti yang ditunjukkan oleh ajaran Islam. Dalam hal ini, indikator yang digunakan adalah kualitas spiritual yang tidak mungkin dideteksi secara empiris, sehingga tidak mungkin kita bisa mengetahui secara pasti apakah sesorang tertentu termasuk dalam kategori wali. Dengan kata lain, wali berada pada posisi sedemikian spiritual sehingga peluang kekeliruan dalam penilaian lahiriyah menjadi sangat besar. Makalah ini akan lebih menggunakan pendekatan teologis, dengan melihat sejauh mana para teolog Islam berdiskusi tentang makna wali, suatu kata yang sesungguhnya tercantum dalam al-Qur’an tetapi berkembang sedemikian rupa terutama di dalam tradisi pemikiran sufi.
Di dalam al-Qur’an kata-kata waliy (jamak: awliya’; diindonesiakan menjadi wali) muncul di beberapa tempat dan dengan demikian memiliki beberapa arti yang berbeda. Kata tersebut digunakan bukan saja dalam hubungannya dengan Allah, tetapi juga dengan beberapa hal lain, bahkan setan, jenis makhluk yang memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah. Secara etimologis, wali dapat berarti penjaga, pelindung, penyumbang, teman, pengurus, dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.
Dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa, Allah sendiri adalah wali bagi semua mukmin, yang berarti bahwa Ia menjadi pelindung mereka. Dalam Surat al-Baqarah dikatakan, "Allah adalah wali bagi orang-orang beriman. Ia membawa mereka dari kegelapan ke cahaya terang." Juga dalam
Dalam
Dalam
Namun demikian, muncul beberapa kali dalam al-Qur’an bahwa bukan hanya Allah saja yang menjadi wali bagi orang-orang yang beriman. Di samping Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman lainnya adalah wali bagi orang-orang beriman. Dalam
Demikian juga, Allah menyatakan dalam
Dengan makna yang hampir sama, wali juga digunakan dalam konteks yang negatif ketika Allah melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali. Misalnya, dalam
Dan hanya kepada Allah kamu kembali." Allah juga berfirman dalam
Begitu pula, Allah menyebut mereka yang melanggar hukum-Nya sebagai wali setan, dan demikian juga menyebut setan wali mereka. Orang-orang yang beriman tidak boleh menjadikan setan atau wali mereka (setan) sebagai teman atau pemimpin. Dalam konteks ini, wali berarti teman atau pendukung. Hal ini dijelaskan dalam
Sebab itu, perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah. Dalam
Allah juga memperingatkan, "Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia telah menderita kerugian yang nyata." Maka, jelaslah bahwa awliya’ al-syaithan dan mereka yang menjadikan setan sebagai awliya’ mereka adalah musuh orang-orang yang beriman.
Selain itu, wali juga digunakan dalam al-Qur’an untuk dua arti yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah teologis. Pertama, ia digunakan dalam masalah yang muncul ketika terjadi pembunuhan; keluarga yang berduka cita bertindak sebagai ahli waris yang menentukan apa yang akan terjadi pada pembunuh, apakah ia akan dikenakan denda atau akan dimaafkan. Allah berfirman dalam
Di samping itu, dalam al-Qur’an istilah awliya’ juga digunakan untuk menunjuk status atau karakter khusus dari orang-orang beriman. Istilah ini menjadi penting karena ia menjelaskan atribut tertentu dalam dua ayat yang berurutan, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati; yaitu, orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." Istilah awliya’ Allah dalam ayat-ayat itu telah diberi beberapa arti yang berbeda, masing-masing dengan argumen yang panjang lebar. Meskipun beberapa ahli telah mengartikannya dengan teman-teman atau kekasih Allah, penafsiran itu sendiri masih jauh melampaui arti literalnya. Beberapa hadis telah dipakai untuk mencari makna yang tepat, namun perdebatan muncul karena sebagian ulama lebih menyukai beberapa hadis tertentu dari yang lain.
Ini bahkan dijumpai dalam tradisi sufi bahwa syakh al-thariqah, pemimpin persudaraan sufi, diberi gelar awliya’, yang secara pasti diderivasikan dari ayat-ayat tersebut di atas. Karenanya, penafsiran yang bermacam-macam tentang awliya’ dan keistimewaan mereka: busyra (kabar gembira), ‘ilm (pengetahuan) dan karamah (kemulyaan, penghormatan) menjadi sangat penting untuk dibahas.
II. Arti Wali Allah
Wali Allah (biasa juga ditulis Waliyyullah) seperti yang disebut dalam al-Qur’an telah diberikan makna khusus oleh berbagai ulama’. Menurut al-Jurjani (w. 816/1413) dalam bukunya Kitab al-Ta’rifat, istilah wali ditujukan kepada orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya (al-’arif bi’llah wa shifatih), yang berjalan dalam ketaatan yang konstan, menghindari kekerasan dan membebaskan fikirannya dari belenggu/kungkungan kesenangan materi dan nafsu seksual.
Al-Jurjani hanya memberikan penafsiran secara normatif dan tidak memberikan penjelasan lebih detil tentang ciri-ciri mereka dan tidak pula membatasi kelompok manusia tertentu sebagai wali. Dia menegaskan bahwa istilah itu harus dipahami dalam artinya yang luas.
Beberapa ahli tafsir cenderung menyandarkan diri pada hadis dalam menafsirkan arti wali. Dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan, al-Thabari secara ringkas mengutip dua hadis yang berbeda yang telah dinyatakan sebagai penafsiran kata itu, tanpa menjelaskan mana dari dua itu yang lebih tepat.
Pertama, dalam sebuah hadis Nabi dikatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang begitu mengagumkan kualitasnya, sehingga siapa saja yang melihatnya pasti akan menyebut nama Allah. Dengan kata lain, awliya’ memiliki tingkat kesalehan dan kebaikan yang sangat tinggi. Penafsiran ini pula dianut oleh dua mufassir (ahli tafsir) terkenal, al-Zamakhsyari (w. 538/1143) dan Ibn Katsir (w. 774 H/1372).
Kedua, dalam hadis lain dinyatakan bahwa wali adalah mereka yang memiliki derajat paling tinggi. Al-Thabari menyebutkan bahwa ketika Nabi ditanya tentang makna awliya’, ia menjawab bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang dicemburui oleh para Nabi dan syuhada’ (orang-orang yang mati dalam jihad); mereka saling mencintai tanpa memperhatikan faktor-faktor kekayaan dan keturunan, wajah mereka tampak bersinar dan bercahaya ketika berada di atas mimbar; mereka tidak khawatir ketika orang lain merasa khawatir, dan tidak sedih ketika orang lain merasa sedih. Penjelasan al-Thabari ini tampaknya dianut oleh dua mufassir kemudian, yakni al-Zamakhsyari yang bermazhab Mu’tazilah dan Ibn Katsir yang bermazhab Ahl al-Sunnah dengan menyebut dua hadis yang sama dalam kitab tafsir mereka.
Beberapa penafsir lain menggunakan hadis yang berbeda untuk menjelaskan arti awliya’. Seorang ‘alim besar dari Mazhab Syi’ah, al-Thusi (w. 460/1068), berpendapat bahwa awliya’ adalah mereka yang berhak mendapatkan pahala, penghargaan dan kemuliaan dari Allah. Lebih jauh, dia mengutip, dalam kitabnya al-Tibyan, sebuah hadis yang dinisbatkan kepada al-Husayn ibn ‘Ali, yang mengatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang mengikuti perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjauhi larangan-laragangan, meninggalkan kesenangan dunia, berjuang di jalan Allah, berjuang untuk kehidupan yang terbaik, tidak mencari nama dan mengejar kemewahan yang berlebih, dan mereka membayar apa yang menjadi kewajiban mereka. Hadis ini juga digunakan oleh al-Thabathaba’i, seorang mufassir Syi’i kontemporer dalam tafsirnya al-Mizan.
Lebih dari itu, ia menambahkan beberapa hadis lain, yang salah satunya, barangkali paling penting, dinisbatkan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas: "Ketika ‘Ali ditanya tentang arti awliya’, ia menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam menyembah Allah, melihat segi batin (esoteric) dari segala sesuatu, sementara orang lain melihat segi lahirnya (exoteric); mereka memiliki kesabaran untuk menunggu, tidak pernah tertipu oleh kesementaraan; mereka meninggalkan apa yang tidak akan abadi dan menghancurkan apa yang akan menghancurkan mereka. Dari apa yang mereka sebutkan, kita perlu memberikan tekanan secara khusus terhadap ciri pemikiran Syi’ah mereka, yaitu pentingnya hal-hal yang bersifat batin dan penantian terhadap kedatangan imam al-mahdiy.
Di samping itu, dua penafsiran lain yang berbeda diberikan oleh al-Qurthubi (w. 671/1272) dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dan al-Alusi (w.1251/1835) dalam Ruh al-Ma’ani. Penafsiran al-Qurthubi didasarkan pada pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib yang mengatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang wajahnya pucat karena mereka kurang tidur, mata mereka sayu karena banyak menangis, perut mereka kosong karena kurang makan, bibir mereka kering karena banyak berzikir. Selain itu, penafsiran al-Alusi didasarkan pada hadis qudsi, di mana Allah berkata, "Di antara hamba-hambaku adalah dia yang selalu dekat Aku dengan mengerjakan nawafil (ibadah sunnah), hingga Aku mencintainya. Sekali Aku mencintainya, Aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk meraba dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan." Dengan kata lain, hadis ini menyatakan bahwa karena cinta-Nya yang dalam Allah selalu membimbing pikiran dan tindakannya agar terhindar dari maksiat dan kejahatan.
Penulis Islam yang lain membawa istilah awliya’ kepada arti yang lebih luas dari pada sekedar membatasinya dengan memberikan karakteristik tertentu. Dalam menafsirkan kata itu, mereka tidak menggunakan hadis-hadis, tetapi lebih membukanya untuk dipahami sebagai orang Islam yang saleh. Di antara mereka adalah Ibn Taymiyyah (w.728/1328) yang berpendapat dalam kitabnya al-Furqan bayna Awliya’ al-Rahman wa Awliya’ al-Syaythan bahwa wali adalah orang yang selalu mengikuti ajaran Allah; dengan demikian, jika melanggar hukum-Nya, dia tidak disebut sebagai wali Allah tetapi wali setan. Dalam pengertian ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa para nabi adalah awliya’ yang paling baik, karena dalam kehidupan mereka terdapat teladan paling utama dalam mematuhi ajaran Allah. Dengan penjelasan ini, tampaknya Ibn Taymiyyah tidak menggunakan hadis yang mengatakan bahwa para nabi dan syuhada’sungguh cemburu terhadap kedudukan yang dinikmati oleh awliya’.
III. Keistimewaan Awliya’: al-Busyra
Diyakini bahwa sekalipun ditafsirkan berbeda-beda, awliya’ akan mendapatkan keistimewaan yang salah satu bentuknya ialah al-busyra (kabar kegembiraan). Dalam
Di samping itu, ia memberikan penafsiran lebih jauh yang didasarkan pada hadis Nabi bahwa busyraadalah bagian dari kenabian yang tidak berhenti pada Nabi Muhammad saja, tetapi akan terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya. Penafsiran seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthubi dan Ibn Katsir. Tetapi Muhammad ‘Abduh dalam al-Manar, mencoba memberikan penafsiran yang lain. Dia mengatakan bahwa busyraadalah kabar gembira bahwa awliya’ akan menang dan berkuasa di dunia, sepanjang mereka melaksanakan syariat Allah, sunnah Rasul dan berjuang di jalan Islam. Dalam caranya menafsirkan, ‘Abduh tampaknya menggunakan penalaran ketimbang hadis, seperti biasanya ditunjukkan oleh mufassir tradisional. Ini dapat dipahami karena dia mengatakan bahwa sebagian besar hadis yang berkaitan dengan arti awliya’ adalah lemah (dla’if).
IV. Keistimewaan Awliya’ : ‘Ilm dan Karamah
Di samping busyra yang secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an, ada dua privelej lain, yang menurut keyakinan beberapa teolog, diberikan oleh Allah kepada awliya’, yakni ‘ilm (pengetahuan) dankaramah (kemulyaan, penghargaan). Menurut Ibn ‘Arabi (w. 638/1240), awliya’ diberi kedudukan tertinggi dalam sistem ‘ilm(pengetahuan).
Selanjutnya adalah ‘ilm ahwal, pengetahuan faktual, yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan perasaan atau pengalaman. Misalnya, manisnya madu, beratnya kesabaran, nikmatnya cinta dan rindu hanya bisa diperoleh melalui pengalaman. Dua macam pengetahuan ini bisa didapat oleh orang awam. Sedangkan yang paling tinggi ialah ‘ilm al-asrar, pengetahuan rahasia, yang hanya bisa diperoleh para nabi dan awliya’, karena hal tersebut diluar jangkauan akal pikiran, dan diwahyukan oleh ruh suci (al-quds) atau malaikat. Tipe pengetahuan ini, kata Ibn ‘Arabi, dapat menyerupai tipe pertama, tetapi yang unik adalah bahwa ilm al-asrartidak didapatkan lewat akal tetapi lewat wahyu, sebagaimana juga bisa menyerupai yang kedua tetapi ia lebih tinggi. Lebih jauh, ‘ulum al-asrar pasti benar karena diturunkan dari Tuhan, seperti halnya wahyu para nabi. Wahyu para nabi adalah nubuwwat al-tasyri’, kenabian syari’at, tetapi wahyu awliya’ adalah al-nubuwwat al-’ammah, kenabian umum, yang tidak berhenti pada nabi terakhir Muhammad.
Teori Ibn ‘Arabi disangkal oleh para teolog, di antaranya ialah Ibn Taymiyyah. Untuk mengkualifikasikan lebih jauh awliya’ sebagai orang yang dianugerahi pengetahuan rahasia dan yang mampu berbicara dengan Tuhan, kata Ibn Taymiyyah, merupakan suatu penafsiran bid’ah. Arti itu tidak ada dalam hadis. Kata Ibn Taymiyyah, ini tidak berarti mengingkari bahwa kadangkala cinta manusia yang sangat mendalam kepada Tuhannya di satu pihak dan kecintaan serta kasih sayang Tuhan di pihak lain akan mengantarkan, dan bahkan mungkin secara nyata mendatangkan suatu bentuk komunikasi dan hubungan.
Tetapi manusia seperti itu dalam istilah teknis, menurut syari’ah, adalah muhaddats (yang diajak bicara) bukan wali. Lebih jauh, anugerah kemampuan berbicara dengan Tuhan tidak dengan sendirinya memberikan kepada muhaddats kelebihan atas orang lain, apalagi nabi. Demikian juga, orang yang mengaku mendapatkan pengetahuan yang diturunkan melalui komunikasi seperti itu tidak serta-merta dapat dipastikan kebenarannya. Seorang wali adalah seperti semua manusia yang lain. Memberinya tempat yang lebih tinggi dari nabi adalah bertentangan dengan struktur hirarki berdasrkan kesalehan dalam Islam. Dalam hirarki atas dasar kesalehan, manusia biasa berada di bawah nabi, tidak di atasnya.
No comments:
Post a Comment